Ketika Guru Ngaji Dikenai Denda: Jangan Lagi Ada Takut di Jalan Pengabdian

Opini, SD

Pak Ahmad Zuhdi, 63 tahun. Seorang guru madrasah diniyah (Madin) di sebuah desa di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Sehari-hari, beliau mengajar anak-anak mengaji, mengenalkan mereka kepada Al-Qur’an, mengajarkan doa-doa harian, sambil menanamkan akhlak sederhana seperti hormat kepada guru dan sayang kepada teman.
Tapi sebuah insiden kecil di bulan April 2025 mengubah hidup tenangnya.
Hari itu, saat beliau sedang mengajar, sebuah sandal melayang ke arahnya dan mengenai pecinya. Kelas sontak gaduh. Sandal itu ternyata dilempar oleh murid dari kelas lain. Karena terkejut, tersinggung, dan terbawa emosi, Pak Zuhdi menampar murid yang ditunjuk teman-temannya sebagai pelaku.
Ia mengakui kesalahan itu. Ia tahu bahwa tindakannya tidak ideal. Tapi tamparan itu, katanya, bukan untuk melukai—melainkan teguran spontan yang dalam tradisi pengajaran lama masih sering terjadi untuk mendidik. Ia pun langsung meminta maaf kepada orang tua murid yang bersangkutan.

Semua mengira masalah telah selesai.
Tapi Tiga Bulan Kemudian

Tiga bulan setelah kejadian, datang lima pria yang mengaku dari sebuah LSM. Mereka mendatangi Pak Zuhdi dan mengatakan bahwa kasusnya sudah dilaporkan ke polisi. Lalu mereka menawarkan “jalan damai”—dengan syarat Pak Zuhdi harus menyerahkan uang Rp25 juta.
Pak Zuhdi terkejut. Tak punya kuasa, tak tahu harus mengadu ke siapa. Ia hanya seorang guru pengabdi, bukan orang yang terbiasa berurusan dengan surat kuasa hukum. Sementara tekanan demi tekanan datang, hingga kisah ini akhirnya sampai ke publik, dan jadi viral.

Kita Harus Berpihak pada Nalar dan Nurani

Mari jujur: apakah pantas seorang guru yang mengabdi puluhan tahun, yang menampar bukan karena benci tapi karena emosi sesaat, langsung diperlakukan seperti pelaku kriminal besar? Ini bukan pembenaran kekerasan pada anak. Tamparan tetaplah tindakan yang salah. Tapi kita juga tak bisa menutup mata bahwa insiden seperti ini sering terjadi dalam konteks pendidikan tradisional, dan sering diselesaikan secara kekeluargaan.
Pak Zuhdi sudah mengakui, sudah meminta maaf. Dan semua pihak saat itu menganggap selesai. Tapi ketika ada oknum yang datang dan memaksa “uang damai” dengan tekanan psikologis, bahkan mengatasnamakan lembaga tertentu, maka masalah ini menjadi jauh lebih dalam: ada yang memperdagangkan rasa takut.

Guru Tidak Seharusnya Ditakut-takuti

Kita harus melindungi para guru Madin dari praktik-praktik seperti ini. Mereka adalah orang-orang yang berdiri di garis depan pendidikan moral anak-anak kita, dengan sumber daya yang sangat terbatas.
Bayangkan, seorang guru sepuh seperti Pak Zuhdi, yang tak punya pengacara, tak paham prosedur hukum, harus menghadapi intimidasi lima pria yang datang tiba-tiba menagih puluhan juta rupiah. Padahal beliau hanya ingin terus mengajar dengan tenang, di usia yang mestinya sudah mulai istirahat.
Negara tidak salah dalam kasus ini, tapi negara juga tidak boleh diam terhadap praktik yang mengganggu rasa aman warga yang lemah.

Pak Zuhdi bukan malaikat. Ia manusia biasa. Ia melakukan kesalahan, tapi juga menunjukkan tanggung jawab moral: mengakui dan meminta maaf. Tapi apa yang terjadi setelahnya bukanlah bentuk keadilan, melainkan ancaman.
Kita tidak boleh membiarkan para guru pengabdi hidup dalam tekanan oknum. Jika ada pelanggaran, tentu bisa dibina, dibicarakan, dicari jalan tengah. Bukan langsung dibungkam dengan ketakutan, apalagi dengan dalih “jalan damai” yang dipatok puluhan juta.

Mari Kita Jaga Para Pengabdi

Kisah ini mestinya membuka mata kita. Bahwa hari ini, banyak guru ngaji, ustaz kampung, dan pengajar Madin yang terus bekerja dalam keheningan. Mereka bukan orang besar, tapi pengaruh mereka besar. Mereka membentuk karakter anak-anak kita sejak kecil, mengajarkan nilai-nilai Islam sejak dini.
Dan ketika mereka salah, jangan langsung kita hukum. Bimbing mereka. Rangkul mereka. Lindungi mereka dari penyalahgunaan kuasa oleh pihak-pihak yang hanya ingin mengambil keuntungan dari celah konflik.
Jika ada hikmah dari kasus yang menimpa Pak Zuhdi, mungkin itu adalah: waktunya kita lebih peduli pada guru-guru ngaji. Mereka tak pernah meminta perhatian, tapi itu bukan alasan untuk terus membiarkan mereka berjuang sendirian.
Kesejahteraan mereka harus diperhatikan. Perlindungan hukum mereka harus diperkuat. Dan yang paling dasar: mereka harus kita jaga dari arogansi oknum yang merasa bisa berbuat semaunya.
Semoga semua ini segera selesai. Dan semoga, kita tak lagi mendengar kisah serupa: tentang seorang guru sepuh yang dianiaya oleh ketidakadilan, hanya karena melakukan tindakan kecil untuk mendidik anak agar mengenal akhlak dan adab dalam masa pendidikan.

Yayasan TBS Kudus

Jl. KH. Turaichan Adjhuri No.23, Kajeksan, Kec. Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59314