Membendung Arus Modernitas Hijrah dengan Literasi Digital
Oleh: Irsyad Roqiyul Azmi, M.Pd
(Staf pengajar MA NU TBS Kudus dan Ma’had Aly TBS Kudus)
FENOMENA hijrah atau akrab disebut dengan gejala sosial ‘agar menjadi lebih religius’ ini semakin riuh diperbincangkan. Akar penyebarannya berasal dari mereka yang kebanyakan beraliran salafi. Umumnya mereka ingin mem-branding gaya hidupnya dengan kategori Syar’i.
Persebaran gerakan ini, hanya menjamah pada masyarakat perkotaan atau belakangan menjurus pada kalangan artis. Tak jarang artis ternama mendadak mengenakan celana cingkrang dan berjenggot lebat mucul di ruang publik.
Uniknya gerakan ini dengan mudah memberikan predikat ‘ustadz’, kepada artis yang baru mengenal islam tersebut, bahkan orang yang baru masuk islam sekalipun, nantinya ‘ustadz hijrah’ tersebut dijadikan sebagai rujukan beragama melalui fatwanya.
Banyak cara yang mereka upayakan untuk mengemas gaya hijrah tersesui dengan passion-nya. Ada yang dengan gencarnya menciptakan lagu bernuansa tauhid, ada pula gemar mempromosikan produk halal, dan mengadakan kajian milenial dengan fashion ala kaula muda. cara tersebut agar menarik perhatian kaum milenial yang sedang mengalami kritis Identitas.
Namun kenyataannya mereka berkembang begitu pesat, bahkan kelompok urban religius ini telah masuk ke dalam wilayah stategis seperti sekolah, tahfidz dan Tahsin Al-qur’an, percetakan buku, kegiatan keislaman bahkan membuat stasiun TV dan radio serta media mainstream yang mempunyai banyak pembaca.
Penetrasi budaya penggunaan internet perlu digalakkan, sebab betapa kuatnya potensi internet mampu menggerakkan masyarakat. Salah satunya menggunakan literasi digital. Literasi digital adalah kemampuan untuk mencari, menemukan, menggunakan, dan menyebarluaskan kembali informasi yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan menggunakan media digital.
Literasi diartikan kemampuan mengakses, memahami informasi secara cerdas. Menurut Atmazaki (2019;39) Literasi penting dalam menghadapi era global, minimal menguasai enam literasi dasar, yaitu literasi bahasa, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, sertaliterasi budaya dan kewarganegaraan. Maka muncul Gerakan Literasi Sekolah, sesuai peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.23 tahun 2015 tentang kewajiban membaca literatur selama 15 menit sebelum belajar mengajar dimulai.
Namun seirang perkembangan teknologi dan informasi, maka literatur sangat baik jika tersaji dalam bentuk digital dan berkumpul dalam suatu jaringan atau daring. Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI) menyatakan jumlah pengguna internet mencapai 73,7% dari jumlah penduduk Indonesia.
Literatur yang berbentuk digital dan tersedia secara daring (online) akan menjadi aktifitas melakukan literasi digital. Istilah literasi digital sendiri dikemukakan oleh Paul Gilster melalui bukunya yang berjudul Digital Literacy.
Era Society 5.0 juga dapat diartikan sebagai sebuah konsep masyarakat berbasis teknologi, dengan keharusan mempelajari dan menguasai literasi baru, antara lain: Literasi data atau kemampuan untuk membaca, analisis dan menggunakan informasi di dunia digital.
Selain itu, literasi digital juga bisa menjadi bekal untuk menjaga generasi milenial dari persebaran hoaks dan ujaran kebencian sangat menjamur di ruang maya, imbasnya serangan hoax atau korban cyber crime oknum yang akan merusak citra islam menjadi tidak rahmatal lil ‘alamin.
Era banjir Informasi seperti ini menjadikan semua orang bebas berbicara. Banyak yang sibuk menyurakan semangat gerakan menjadi lebih islami, mengkaji islam hanya sepotong demi mengejar konten, memaknai ajaran bukan pada praktik keseharian, namun hanya pada penampilan. Bahkan bukan sekedar mengklaim yang paling suci, tapi meng-kafir-kan yang tak sejalan, sehingga memicu perpecahan umat.
Mengingat cepatnya perkembangan digital yang terjadi secara global dan memberikan dampak yang besar. Pesantren harus mampu berbicara lebih, dalam ini harus ikut serta dalam menebar kebaikan, berdakwah melalui internet, media sosial dalam platform Facebook, Twitter, Instagram, Youtube dan lain sebagainya.
Selain itu, Pesantren dituntut lebih aktif berinteraksi dalam lingkungan virtual. Ikut serta dalam menabuh genderang perang melawan informasi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Salah satunya dengan rutin memproduksi konten inspiratif, ulasan ajaran islam ramah, meme tentang akhlak mulia serta dawuh dari para kiai.
Maka, santri harus mampu menyambut perkembangan teknologi dan komunikasi dengan konten ke-islam-an, sehingga konten ajaran islam yang moderat itu masif menyebar di kalangan milenial. Sehingga ajaran tersebut tercipta daya viral dengan tingkat keterbacaan tinggi, Sebab memaksimalkan media sosial dalam jaringan virtual merupakan keniscayaan.
Geliat kebangkitan media Islam sudah mulai terlihat, dalam hal ini kader muda nahdliyin telah memperliatkan totalitas khidmahnya dalam mengawal media islam ramah melalui website atau portal media yang dimiliki. Sehingga berdasarkan penelusuran rangking di Alexa, NU online menduduki peringkat pertama dalam situs-situs Islam di Indonesia.
Dalam portal media NU online menyediakan banyak teks digital yang menawarkan cara instan untuk mengases informasi tentang suatu hukum dan tradisi ke islaman secara konprehensif, sehingga memungkinkan pembaca untuk mengakses banyak materi. Akhirnya, berdampak pada peningkatan kecakapan literasi informasi, atau kemampuan untuk memilih informasi berdasarkan akurasi dan kemanfaatannya.
Efektivitas media dapat diukur dari effect yang diberikan. Media dianggap efektif apabila mampu memengaruhi sikap pembaca dan atau pendengarnya dalam bentuk tindakan yang nyata. Secara digital, effect ini telah dapat diketahui dari jumlah like atau dislike, jumlah share atau repost hingga jumlah subscribe.
Viralnya Gus Baha’ misalnya, kemunculan Gus baha’ ke publik sangat memberikan angin segar dalam dunia media dakwah digital. Gaya dakwahnya sangat digandrungi oleh para penikmat pengajian virtual, manyoritas para pendengar berasal dari lintas generasi sampai multi madzhab sekalipun.
Keberhasil tersebut tidak lepas dari peran para santri Narukan Rembang yang memberanikan diri untuk meminta ijin merekam pengajian kitab Gus Baha’, kemudian setelah mengalami proses editing dan penerjamahan, video tersebut di apload di channel Youtube Santri Gayeng.
Channel yang telah ‘centang biru’ tersebut tidak hanya mampu meng-counter attack masifnya gaya komunikasi dan persebaran gerakan Hijrah ini, namun channel ini benar-benar mengajarkan kepada santri agar terus melek terhadap perkembangan teknologi.
Lewat channel youtubenya, kita mengenal Cerminan ulama’ nusantara yang pantas menjadi rujukan ke-islam-an, kiai yang dilahirkan dari pesantren yang tidak hanya menyampaikan ajaran islam yang lembut, namun mempopulerkan tradisi ngaji kitab kuning.
Channel Santri Gayeng telah menjangkau banyak pendengar (viewers), akun dakwah tersebut memeroleh banyak jamaah dan simpatisan (followers, subscriber), serta mampu mengajak orang lain mengamalkan pesan dakwah. Tidak hanya santri saja yang merasakan ke’aliman dan teladan akhlak mulia Gus Baha’, bahkan institusi perguruan tinggi pun berlomba ikut ngaji dan sowan kepadanya. (*)
Sumber Bacaan:
Kemdikbud. (2016). Panduan gerakan literasi sekolah di selah menengah pertama. Jakarta : Ditjen Dikdasmen Kemdikbud
Atmazaki,dkk. (2017), Panduan Gerakan Literasi Nasional. Jakarta : Kemdikbud
Nopida,L. dan Kristiawan ,M. (2018) . Gerakan Literasi Sekolah Berbasis Pembelajaran Multiterasi, sebuah pradigma Pendidikan Abad ke-21. JMKSP ( Jurnal Manajemen , Kepemimpinan, dan supervasi pendidikan).volume 3, nomor 2,216-321.