Oleh: Rosidi
IKHTIAR bersama berbagai elemen bangsa untuk menangkal potensi radikalisme dan terorisme, menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Terlebih, sebagaimana survei yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2022, indeks potensi radikalisme ini kian meningkat.
Peningkatan itu menyasar secara khusus kepada kalangan perempuan, generasi milenial, generasi Z dan mereka yang aktif di internet dan media sosial. Dengan kata lain, internet dan media sosial ikut menjadi penyebab meningkatnya potensi radikalisme di kelompok tersebut.
Maka gagasan untuk melakukan upaya pencegahan potensi radikalisme dan terorisme pun berkembang, yakni tidak hanya secara langsung kepada masyarakat, tetapi juga perlu dilakukan melalui media digital.
Untuk itu, pemerintah tentu tidak bisa sendiri. Butuh support dan partisipasi banyak kalangan. Tak terkecuali, aparatur pemerintahan desa hingga lapisan paling bawah; kepala RT/ RW, juga tokoh agama dan tokoh masyarakat, penting perannya berkontribusi dalam hal ini.
Tradisi Kenduri di Kudus
Kenduri, sebuah tradisi doa bersama yang kemudian dilanjutkan dengan makan bersama-sama, banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa. Pun demikian dengan masyarakat Kudus. Kenduri (kenduren) sangat sering dilakukan di banyak kesempatan.
Sebagai kearifan lokal, di Kabupaten Kudus, kenduri ada yang dilakukan dalam event yang diikuti masyarakat secara massal, tetapi ada pula yang dilaksanakan dalam sebuah “forum terbatas”.
Event kenduri yang diikuti secara massal antara lain bisa dilihat dalam tradisi Buka Luwur Kangjeng Sunan Kudus (10 Muharram/ 10 Sura), Buka Luwur Kanjeng Sunan Muria (15 Muharram/ 15 Sura), dan Rebo Wekasan Masjid Al-Ma’mur Desa Jepang (malam Rabu terakhir bulan Safar).
Ada juga Ampyang Maulid Masjid At-Taqwa Desa Loram (12 Maulid), tradisi Kupatan (setelah Idulfitri), Tradisi Bulusan di Sumber, Hadipolo (setelah Idulfitri) serta tradisi Resik-resik Sendang Desa Wonosoco (18 Syawal – 2 Dzulqa’dah).
Selain itu, hampir di setiap desa -tidak hanya di Kudus, juga di desa lain di sekitaran wilayah Pati- juga rutin digelar peringatan haul leluhur yang melakukan babat alas (cikal bakal desa). Pada kesempatan itu, kenduri menjadi satu hal yang tidak akan terlupakan. Ada juga sedekah bumi atau Apitan, tradisi sebagai wujud rasa syukur petani atas hasil bumi dan berkah lainnya, yang dilangsungkan sebelum Besar (Dzulhijjah).
Sedang dalam “forum terbatas”, yakni dilakukan oleh masyarakat setiap kali menggelar manaqiban hinggakirim doa (7 hari, 40 hari, 100 hari, haul, dan nyewu) yang pahalanya dihadiahkan bagi kerabat atau saudara yang telah wafat.
Sebagai Gerakan
Menjadikan “kenduri” sebagai “sebuah gerakan” serta usaha bersama mewaspadai paham radikal serta sebagai upaya pencegahan terorisme dalam rangka merawat perdamaian, toleransi dan kebhinnekaan, adalah sebuah gagasan yang sangat cerdas.
Pertama, “kenduri” merupakan kata yang mudah diingat oleh siapapun. Bahkan anak kecil di desa-desa sekalipun, tidak akan kesulitan mengingat kata yang diambil dari tradisi yang berkembang di masyarakat tersebut. Kedua, mudah melafalkannya. Ketiga, sudah familiar di masyarakat.
Meski demikian, kenduri desa damai sebagai sebuah gerakan, perlu diperluas melalui berbagai ruang untuk memaksimalkannya. Bisa melalui lembaga pendidikan dengan mengusung title “Kenduri Madrasah/ Sekolah Damai”, dan “Kenduri Kampus Damai” untuk masuk lingkungan kampus (perguruan tinggi).
Di luar itu, bisa juga memperluas gerakan tersebut melalui organisasi-organisasi pelajar yang memiliki struktur dari tingkat desa hingga pusat (nasional); Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama – Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama (IPNU-IPPNU) dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), misalnya. Dengan pelebaran sayap “Gerakan Kenduri” di berbagai lini itu, maka gaungnya tentu akan lebih cepat meluas.
Angkat “Kenduri” dalam Teknologi Animasi

Prof KH Syamsul Ma’arif menyampaikan sambutan sebelum pembukaan “Kenduri”
I Made Sutama pada 2008 (waktu itu menjabat Kepala Perwakilan Unicef Jawa Tengah) dalam pengantarnya di buku “Cita: Cerdas Bermedia” yang diterbitkan Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI) didukung Pemprov Jateng dan Unicef, mengatakan, survei kerja sama antara Unicef dengan jurusan Ilmu Komunikasi Undip, Semarang, menunjukkan rerata anak sekolah dasar (SD) menonton televisi setiap hari mencapai 3,9 jam. Dan pada akhir pekan atau hari libur, mencapai 6,3 jam.
Maknanya, bahwa betapa layar televisi dengan ragam suguhan “gambar hidupnya”, mampu menyita perhatian anak, dan bahkan mereka (anak-anak) “rela” menggunakan waktunya yang tidak sedikit untuk menyimak atau menonton.
Saat ini, tak hanya televisi, youtube dengan ragam suguhan konten yang ada, juga konten-konten melalui platform media sosial lain semisal Instagram (IG), lebih dahsyat lagi. Banyak anak yang menghabiskan banyak waktunya menonton beragam konten yang ada di youtube, IG dan platform media sosial lain, karena kini, suguhan itu bisa disimak dengan mudah di berbagai tempat dengan “bantuan” gawai yang hampir setiap saat tak lepas dari tangan orang tua dan masyarakat dari berbagai kalangan usia secara umum.
Melihat realitas yang demikian, maka “Kenduri Desa Damai” mestinya didorong supaya bisa “membumi” juga di dunia digital; dunia maya. Bisa dengan membuat reportase dan esai-esai dalam bentuk video yang kemudian diunggal di youtube dan beragam media sosial lain, syukur bisa mengembangkannya pula dalam teknologi animasi.
Kenapa animasi? Animasi merupakan salah satu tontonan yang menarik dan banyak disimak oleh anak-anak. Maka dengan memperbanyak animasi terkait kearifan lokal untuk mendukung gerakan “Kenduri Desa Damai”, diharapkan anak sedari dini memiliki pemahaman yang baik soal pentingnya menangkal radikalisme.
Mahal? Iya. Untuk membuat animasi memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Maka mencari sponsor untuk “proyek merawat NKRI” melalui “Pembuatan Animasi Kenduri Desa Damai” adalah salah satu jalan yang mesti ditempuh. Di Kabupaten Kudus, ada sekolah animasi yang cukup dikenal tidak hanya di level nasional, juga internasional: SMK Raden Umar Said (RUS). Barangkali bisa ditawarkan proposal kerja sama untuk mendukung “proyek nasional” ini.
Pada akhirnya, mengampanyekan “Kenduri Desa Damai” melalui teknologi animasi ini menjadi menarik jika bisa digarap dan diwujudkan, sehingga pesan damai melalui kearifan lokal bisa lebih bisa diterima melalui ruang yang tidak membuat orang berkerut dahi; melalui tayangan yang menarik untuk disimak. Wallahu a’lam. (*)
Rosidi,
Penulis adalah staf pengajar MA NU Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus dan mentor Cendekia Baznas Ma’had Aly TBS Kudus. Materi disampaikan dalam “Kenali dan Peduli Lingkungan Sendiri (Kenduri) Desa Damai dalam Pencegahan Radikalisme dan Terorisme melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah” oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Pendapa Balai Desa Getaspejaten, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus pada 21 Juni 2023.